Minggu, 11 Desember 2011

IMPLEMENTASI KEKUASAAN PENUNTUTAN DI NEGARA HUKUM INDONESIA



Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pertama, Bagaimana eksistensi Kejaksaan RI dalam melaksanakan supremasi di bidang penuntutan sehubungan dengan sistem peradilan pidana terpadu; Kedua, Kendala apa saja yang dihadapi oleh Kejaksaan dengan adanya lembaga lain yang memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan Kejaksaan; ketiga, Indikator apa saja yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan supremasi Kejaksaan agar menjadi satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan

Hasil Pengkajian ini menunjukkan bahwa :

1.Bahwa eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari:

* Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
* Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
* Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

2.Bahwa pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:

* Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan.
* Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
* Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi.

3.Bahwa permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yaitu:

* Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.
* Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen.
* Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus litis (sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah).

4.Bahwa apabila mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam sistem penuntutan yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat berperan aktif dalam proses penyidikan hingga penuntutan sebagai berikut:

a. Sistem Anglo Saxon
Dalam sistem ini meski secara teoritis polisi dan kejaksaan memiliki kewenangan masing-masing, namun polisi yang melakukan penyelidikan perkara diwajibkan melaporkannya kepada jaksa sedini mungkin, serta memerlukan persetujuan jaksa untuk melakukan penuntutan tersebut. Sehingga dalam prakteknya, polisi harus mematuhi nasihat jaksa mengenai pengumpulan bukti-bukti tambahan dari awal agar perkara yang diselidikinya membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu polisi juga harus mematuhi keputusan jaksa untuk menghentikan penyidikan karena penuntutannya akan dihentikan. Negara yang menerapkan sistem ini adalah negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris seperti Selandia Baru, Australia, Kanada, Malaysia, dan Singapura.

b. Sistem Anglo American
Dalam sistem ini jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang paling berkuasa dalam sistem peradilan pidana karena jaksa memiliki pengaruh yang sangat besar dan berarti sekali terhadap tindakan pejabat peradilan pidana yang manapun. Selain itu, kewenangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut serta untuk menerima pengakuan tersangka agar memperoleh dakwaan yang lebih ringan (plea guilty) benar-benar sangat menentukan. Sedangkan di dalam perkara yang sangat berat seperti pembunuhan, jaksa memimpin penyelidikan baik secara perseorangan atau bersama-sama dengan polisi mendatangi tempat kejadian tindak pidana. Negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat.

c. Sistem Eropa Kontinental
Dalam sistem ini jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana karena memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan. Meskipun dalam pelaksanaan di lapangan polisi memiliki kemampuan yang handal dalam proses pengumpulan bukti-bukti di tempat kejahatan, akan tetapi tetap saja tergantung pada nasihat dan pengarahan jaksa. Hal ini disebabkan karena jaksa lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan di negara-negara yang menganut sistem ini, dimana jaksa tidak melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap memiliki kebijaksanaan penuntutan yang luas untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak menuntut hampir segala perkara pidana. Contoh negara-negara yang menerapkan sistem ini beserta variasinya adalah Jerman, Portugal, Spanyol, Belanda, Perancis dan beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin bekas jajahan negara-negara Eropa Kontinental.

5.Bahwa hal lain yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme kewenangan penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan dan selanjutnya Kejaksaan yang berwenang untuk menentukan apakah perkara yang disidik tersebut dapat atau tidak untuk diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembaga-lembaga tersebut telah sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against Corruption yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap negara dalam rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan pencegahan, akan tetapi kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan penuntutan melampaui apa yang diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Sebagai contohnya dapat dilihat sistem kerja atau kewenangan komisi pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga Indonesia yaitu Singapura, Malaysia dan Australia sebagai berikut:

* Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura. Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang akan dituduh. Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas kasus-kasus korupsi di lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk melakukan penuntutan yang melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau Attorney General Chamber (AGC). Selanjutnya AGC akan menelaah secara detail berkas yang diajukan CPIB untuk diajukan ke pengadilan. Apabila tidak cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh AGC ke CPIB untuk dialihkan ke proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai negeri, misalnya dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.
* Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini berada di bawah Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di setiap negara bagian. Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus mendapat ijin dari pihak Jabatan Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah kasus tersebut diteruskan ke pengadilan atau tidak.
* Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New South Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent Commission Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan sebagai pedoman kinerja bagi pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh Commissioner yang diawasi oleh Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan melaporkan hasil kerjanya setiap tahun kepada Parlemen. Tiga tugas utama lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan dan mempublikasikan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara aktif dan mendidik masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam bentuk laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen dan Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan penuntutan.


6.Bahwa selain bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against Corruption, kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/Penuntutan juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan kepastian hukum yang berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila dalam tahap tersebut ada tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba meninggal dunia atau tidak mampu bertanggung jawab secara permanen.

7.Bahwa atas dasar uraian point 1 sampai dengan 6 tersebut di atas, dapat disimpulkan:

* Eksistensi Kejaksaan RI dalam melaksanakan supremasi di bidang penuntutan sehubungan dengan sistem peradilan pidana terpadu yang diatur menurut KUHAP pada kenyataannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dalam praktek masih sering terjadi koordinasi antara Kejaksaan dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan dengan Pengadilan tidak berjalan dengan lancar karena berbagai alasan yang bersifat birokratis ataupun arogansi institusional, sehingga akan berpengaruh terhadap proses penuntutan.
* Kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dengan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan Kejaksaan adalah berkurangnya eksistensi kewenangan jaksa selaku Dominus Litis yang berlaku universal disebabkan masih adanya tumpang-tindih dan kerancuan hukum yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan sehingga mengabaikan asas Dominus Litis tersebut.
* Indikator yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan supremasi Kejaksaan RI agar menjadi satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan dapat dilihat pada tugas dan kewenangan kejaksaan di berbagai sistem penuntutan yang berlaku di berbagai negara serta tugas dan kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di berbagai negara yang berpedoman kepada ketentuan Article 6 United Nations Concention Against Corruption.

8.Bahwa berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka dapat disarankan:

* Tugas dan kewenangan Kejaksaan RI di bidang penuntutan dapat mengacu kepada tugas dan kewenangan sistem penuntutan yang dimiliki oleh kejaksaan di negara-negara lain yang benar-benar menerapkan asas Dominus Litis secara penuh. Sistem ini dapat diserap dalam amandemen KUHAP sehingga perundang-undangan organik sehingga dapat dicapai supremasi hukum di bidang penuntutan, dimana Kejaksaan diberi kewenangan yang seutuhnya.
* Kehadiran KPK selaku super body di Indonesia dengan kewenangan yang sangat luas adalah telah melampaui batas sebagai badan independen sebagai sarana untuk tindakan pencegahan dalam rangka pemberantasan korupsi sesuai yang ditetapkan dalam Article 6 United Nations Concention Against Corruption (UNAC), oleh karena itu kewenangan penuntutan oleh KPK agar dihapuskan sehingga kekuasaan penuntutan benar-benar hanya ada di Kejaksaan


(Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Implementasi Kekuasaan Penuntutan Di Negara Hukum Indonesia, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar