Minggu, 25 Maret 2012

Sun Tzu dan Konflik Sepakbola Nasional

KOMPAS.com - Kecemerlangan taktik menyebabkan strategi Sun Tzu banyak dipakai dalam penyusunan strategi dan taktik perang modern saat ini, bahkan dalam persaingan di ranah politik, ekonomi, sosial, juga sepak bola. Sayang, tidak diterapkan dalam konteks laga di lapangan hijau, tetapi justru di antara para petingginya (baca: Sun Tzu dan Konflik Sepak Bola Indonesia (1)).


Jika saja kedua kubu bertikai itu sadar diri bahwa pekerjaannya adalah pengurus olahraga bukan politisi, sekelumit perseteruan dan konflik itu bisa menghasilkan hal positif. Misalnya, dengan menyalurkan gengsi Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesia Super League (ISL) dalam satu format kompetisi resmi. Tim-timnya bisa diadu secara sehat.

Kedua kubu akan terpacu untuk meningkatkan kualitas kompetisi di lapangan demi gengsi dua kelompok besar sepak bola nasional. Para pecinta sepak bola juga akan terpuaskan dengan sajian perseteruan panas di lapangan dan bukan perang opini yang ditampilkan oleh para pemegang kursi kekuasaan sekarang.

Masyarakat juga nantinya tak perlu dirundung kekesalan lagi karena melihat tokoh KPSI dan PSSI berseteru di sejumlah media. Pada dasarnya, publik sepak bola hanya membutuhkan persaingan sehat di lapangan sepak bola selama 2x45 menit, bukan sejumlah intrik, dan manuver pertarungan politik.

Pamong, bukan politisi

Kalimat "memahami diri sendiri dan orang lain" dari Sun Tzu pantas dicermati oleh para pengurus sepak bola nasional. Mereka harus menyadari perannya sebagai pamong olahraga dan bukan seorang politisi.

Jika tetep "kekeuh" dengan jalan pikiran politisi, seperti kini, publik sepak bola tinggal menunggu reaksi FIFA yang bukan tidak mungkin akan mengenakan sanksi kepada Indonesia. Namun, ini bisa menjadi momen "bersih-bersih" bagi pemerintah di kepengurusan sepak bola nasional dari pihak yang tidak bertanggungjawab. Singkirkan para loyalis politik sepak bola yang sudah terjerat dalam pusaran kepentingan pengusaha A atau B.

Satu hal yang perlu digarisbawahi saat ini adalah sepak bola bukan hanya milik pengurus, pengusaha, dan politisi sepak bola semata, tetapi milik seluruh pemain dan bangsa Indonesia. Pemerintah harusnya juga bisa mengambil ancang-ancang jika kemungkinan terburuk itu terjadi. Berjuta-juta kali pun Kongres Tahunan ataupun KLB dilaksanakan, akan tetap sia-sia jika dendam kedua kubu yang ada masih disimpan.

"Pemerintah jangan segan-segan intervensi karena kalau diserahkan kepada kedua pihak, tidak akan selesai-selesai. Toh sama saja, sama-sama dapat sanksi tetapi kalau pemerintah turun tangan, mudah-mudahan masalah dapat diselesaikan," ujar mantan anggota Komite Normalisasi, FX Hadi Rudyatmo di Solo, Selasa (20/3/2012).

Sanksi bisa jadi momen penting tetapi tentu akan mengecewakan publik sepak bola Indonesia yang jumlahnya berpuluh-puluh juta di seluruh nusantara. Publik merindukan prestasi, kebanggaan melihat timnya mengangkat piala, dan harumnya nama Timnas Indonesia di Asia.

Masyarakat tak ingin permainan indah sepak bola dijadikan ajang politik yang selalu memakan korban. Masyarakat menginginkan munculnya jenderal-jenderal dengan keindahan strategi berperang di lapangan hijau untuk menang dan berprestasi. Inilah sepak bola.


"Seorang jenderal yang marah akan kalah. Kemarahan menciptakan kekacauan dan bahkan penderitaan yang lebih besar ketimbang semestinya, sementara pengendalian diri adalah aksi yang berbeda tetapi berkuasa. Jenderal sukses harus memiliki keterampilan yang luar biasa dalam mengatasi konflik itu dan memastikan yang terbaik bagi semua..." - Sun Tzu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar